Bagi kita-kita yang gemar dan hobi memainkan alat musik tradisional Bali, tentu yang namanya GANGSA dan RINDIK merupakan suatu benda yang tidak asing dan sangat akrab dalam kehidupan sehari-hari kita. Bagaimana tidak? Peranan kedua jenis alat musik ini sangat banyak dalam kehidupan masyarakat Bali. Katakanlah (Gangsa) sebagai musik pengiring dalam serangkaian piodalan (upacara spiritual) di Pura, pengiring berbagai macam tari-tarian tradisional dan pertunjukkan tradisional Bali lainnya (Drama Gong, Arja, Sendratari, Wayang Kulit dsb). Gangsa merupakan salah satu instrumen dari beberapa instrumen musik lainnya yang tergabung dalam musik Gong Gede. Fungsinya sebagai melodi dan alunan dinamis dari Gangsa terlihat ketika alat musik ini dimainkan dengan teknik ngotek. Melihat satu set alat musik Gong Gede, memang Gangsa bukan satu-satunya. Malahan terdapat beberapa 'saudara' dari Gangsa ini sendiri meliputi Ugal, Kantil, Penyahcah, Jublag, dan Jegogan. Semua alat musik tersebut memiliki bentuk yang serupa, namun dengan ukuran, fungsi dan teknik memainkan yang berbeda-beda. Semua alat musik ini dimainkan secara bersamaan dan para pemain berusaha agar bisa memunculkan suatu keharmonisan dalam permainan musiknya (istilahnya repertoire.)
Demikian juga halnya Rindik, sebuah alat musik bernuansa klasik kental dan penampilannya terlihat natural (karena berbahan dari bambu), ditambah alunan suaranya yang begitu terdengar merdu dan mampu menenangkan suasana pendengarnya apabila Rindik dimainkan secara apik apalagi jika sedang berduet dengan suling. Rindik selain digunakan untuk hiburan musik, seringkali digunakan sebagai pengiring tari joged bumbung.
Anggap dengan ilmu statistika, dari suatu populasi ditarik beberapa sampel yang representatif. Artinya dari sekian banyaknya jenis alat musik tradisional yang ada di Bali, saya tarik dua sampel yang saya anggap mewakili semuanya yaitu Gangsa dan Rindik (Hehehehe). Kedua sampel ini saya gunakan sebagai objek yang di bahas dalam topik kali ini.
Mungkin diantara teman-teman, ada yang bertanya bagaimana seorang Pande Gamelan membuat alat musik ini supaya nada yang dihasilkan berurutan dari rendah ke tinggi. Bagi mereka (Pande Gamelan) jawabannya mungkin dengan teknik. Tapi bagi kita (terutama ditujukan buat anak sekolahan, hehe) pelajaran Fisika dapat kita gunakan untuk mengetahui bagaimana nada Gangsa dan Rindik dihasilkan loh!...... Pertanyaan yang kita pecahkan dengan konsep Fisika yaitu ini nih di bawah.
Gangsa, yang digunakan dalam Gong Gede pada umumnya memiliki sumber bunyi berupa bilah atau don Gangse sebanyak sepuluh buah. Don Gangse biasanya terbuat dari campuran logam perunggu dan kuningan. Jika kita amati don Gangsa ini, dengan mengambil posisi memainkannya, maka ukuran ke sepuluh don ini terlihat berbeda-beda. Dari kiri bilah Gangsa terlihat paling panjang, paling lebar dan paling lempeh (tipis maksudnya, hehe). Semakin ke kanan, ukuran bilah Berlaraskan nada pelog, apabila kita tepak (memukul dengan panggul) bilah gangsa dari kiri ke kanan maka kita akan mendengar nada dari nada rendah hingga nada tinggi.
Sama juga halnya dengan Rindik. Rindik terdiri dari sebuah badan (disebut dengan bumbung) dan sumber bunyinya berasal dari don atau bilah bambu yang setengah berlubang biasanya berjumlah 11 hingga 12 bilah dalam satu bumbung. Paling kiri pada posisi kita memainkannya, bilah bambu terlihat sangat panjang dan besar namun makin ke kanan, bilah bambu semakin pendek dan mungil. Berlaraskan nada slendro bila dipukul dari kiri ke kanan maka nada yang dihasilkan dari rendah semakin tinggi.
Mengapa demikian??
Konsep Fisika yang kita pakai adalah konsep dari Hukum Marsenne (ini materi dari SMP sudah dipelajari hehehe). Frekuensi mempengaruhi tinggi rendahnya nada bunyi. Jadi semakin tinggi frekuensi, maka nada yang ditimbulkan akan semakin tinggi. Semakin rendah frekuensi, maka nada bunyi yang dihasilkan akan semakin rendah. Nah setelah kita tahu bahwa frekuensi merupakan kunci dari nada bunyi, maka oleh Pak Marin Marsenne (1588-1648 asal Paris) beliau merumuskan empat faktor yang mempengaruhi frekuensi alami suatu senar atau kawat. Keempat faktor tersebut meliputi panjang senar, luas penampang senar, tegangan senar, dan massa jenis senar.
1. Frekuensi senar bergantung pada panjang senar (berbanding terbalik). Semakin panjang senar, maka semakin rendah frekuensi. Semakin pendek senar, semakin tinggi frekuensi.
2. Frekuensi senar bergantung pada luas penampang senar (berbanding terbalik). Senar yang tebal memiliki frekuensi alamiah yang rendah. Semakin tipis senar, frekuensi alamiahnya semakin tinggi.
3. Frekuensi senar bergantung pada tegangan senar. Semakin tegang senar, maka frekuensi yang dimiliki akan semakin tinggi. Semakin kendor senar maka frekuensi yang dimiliki akan semakin rendah.
4. Frekuensi senar bergantung pada massa jenis senar. Senar yang ringan (massa jenis kecil) memiliki frekuensi yang tinggi. Senar yang berat (massa jenis besar) memiliki frekuensi yang rendah.
Kalian lihat gambar di bawah!
Kalau kalian paham (bukan ngapal lho ya) dengan konsep Hukum Marsenne ini, maka memperhatikan nada pada gangsa dan rindik pun kalian sudah bakalan bisa mengerti. Ambil saja bilah gangsa pertama yang paling panjang, paling lebar dan tentunya akan paling berat. Semakin panjang bilah gangsa, dan semakin besar massa jenis bilah gangsa maka frekuensi bunyi yang dihasilkan gangsa saat ditepak akan semakin rendah. Semakin ke ke kanan (dilihat dari posisi kita memainkan), bilah gangsa akan semakin pendek, dan massa jenisnya semakin kecil sehingga frekuensi bunyi yang dihasilkan akan semakin tinggi. Frekuensi rendah berarti nada rendah, dan frekuensi tinggi berarti nada tinggi.
Atau lihat lagi gambar berikut
Semakin panjang don rindik maka frekuensi bunyi yang dihasilkan akan semakin rendah. Semakin pendek don rindik maka frekuensi bunyi yang dihasilkan akan semakin tinggi. Bagaimana dengan massa jenisnya? Silahkan teman-teman coba timbang massa jenis masing-masing don rindik pake neraca ohhaus...hehe
Selain itu kedua jenis alat musik ini setiap dimainkan selalu menghasilkan bunyi yang sangat nyaring berkat adanya kolom udara pada masing-masing bilah. Pada gangsa, kolom udara terbuat dari bambu yang berjumlah sama dengan jumlah bilah di mana salah satu ujungnya terbuka.
Kalau pada rindik, kolom udara sudah menjadi satu dengan bilahnya, dan oleh sebab itulah desain bilah pada rindik dibuat setengah berlubang (sumber bunyi dan kolom udara menjadi satu, berbeda dengan gangsa yang terpisah).
Kalau pada rindik, kolom udara sudah menjadi satu dengan bilahnya, dan oleh sebab itulah desain bilah pada rindik dibuat setengah berlubang (sumber bunyi dan kolom udara menjadi satu, berbeda dengan gangsa yang terpisah).
kolom udara pada rindik
Konsep resonansi berperan dalam mewujudkan terjadinya bunyi yang nyaring pada gangsa dan rindik terutama pada kolom udaranya. Mungkin teman-teman sudah tahu, dan bagi yang belum tahu, silahkan dibuka saja buku pelajaran fisikanya, hehe....
Jadi pada umumnya sangat banyak musik yang serupa dan konsep tinggi rendah nada bunyi yang sama dengan gangsa, seperti misalnya Ugal, Kantil, Penyahcah, Jublag, Jegog, Gender Wayang, Gender Rambat, dan masih banyak lagi yang lainnya.